(UKWMS – 18/11/2015) Pada Sabtu (18/10) Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dalam kerja sama dengan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) mengadakan kegiatan workshop dengan tema – “Akseptasi Metode Pembelajaran Pancasila pada Kurikulum Jenjang Perguruan Tinggi.” Kegiatan ini mengadirkan dua narasumber dari BPIP, R.P. Dr. Johanes Haryatmoko, SJ dan Dr. Surahno, S.H.,M.Hum. Kegiatan ini melibatkan perwakilan dosen-dosen dari 14 universitas di Surabaya.
Mengawali kegiatan ini, RD. Dr. Aloysius Widyawan, selaku Ketua Lembaga Penguatan Nilai Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, (LPNU UKWMS) selaku tuan rumah, menyampaikan apresiasi untuk BPIP. “Kegiatan ini menjadi satu langkah maju dalam pembelaran Pancasila agar para dosen dan mahasiswa tidak terjebak dalam pola indoktrinatif sebagaimana yang terjadi para era Orde Baru,” ujar Widyawan.
Kegiatan yang dimoderatori oleh Wigbertus Labi Halan, selaku Ketua Pusat Studi Kurikulum Dasar Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ini, berlangsung sejak pkl 08.30-13.00 WIB ini, di Auditorium Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Kampus UKWMS Dinoyo.
Dr. Surahno, S.H.,M.Hum., dalam sesi pertama, membahas sejarah, perumusan, dan pengesahan Pancasila. Deputi Bidang Pengkajian dan Materi BPIP ini menyebut beberapa peristiwa penting, mulai dari kepentingan Jepang dengan janji kemerdekaan. Dilanjutkan dengan usaha untuk menyambut kemerdekaan dan terbentuknya BPUPKI.
Surahno mengutip satu pertanyaan penting dari Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 adalah, “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab degan argumentasi yang kuat dari Sukarno dengan rumusan lima ide dasar yang ia sebut philosphische grondslag yang juga menjadi pandangan hidup – welthanchauung.
Fase selanjutnya tentang negosiasi golongan kebangsaan dan golongan Islam dalam forum-forum diskusi hingga keputusan tentang rumusan Pancasila ia bahas. Sejarah pancasila baginya merupakan sejarah perjumpaan gagasan yang dibekali oleh literasi yang kuat serta idealisme yang kokoh.
Pembahasan tentang sejarah, perumusan, dan pengesahan ini menjadi dasar untuk pembahasan lima metode pembelajaran Pancasila di perguruan Tinggi. R.P. Dr. Johanes Haryatmoko, SJ yang sering disapa Romo Haryatmoko, merinci 5 metode pembelajaran yang reflektif, kritis dan kreatif, yakni logika abduksi, design thinking, berpikir komutasional, lima langkah memecahkan masalah secara ilmiah, dan analisis wacana kritis.
Alumni Universitas Sorbonne Paris ini menegaskan di awal pembahasan bahwa dasar dari metode ini adalah logika karena setiap metode mengandalkan kekuatan logika dengan pemikiran kritis yang membantu para dosen dan mahasiswa mencandra realitas yang ada kemudian merefleksikan dalam terang nilai-nilai pancasila.
“Dalam metode abduksi, perlu mengadakan pengamatan atau observasi, lalu menyusun hipotesis. Setiap hipotesis harus dievaluasi secara kritis. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan, apakah penjelasan itu logis dan didukung oleh bukti memadai? Sesudah itu langkah selanjutnya membuat evaluasi dan kesimpulan. Penugasan bagi mahasiswa adalah membuat refleksi,” jelas Romo Haryatmoko.
Masing-masing metode memiliki kelebihan. Misalnya logika abduksi, kelebihannya, mendorong berpikir kritis dan kreatif secara bersamaan, mengajarkan pengambilan keputusan dalam kondisi ketidakpastian, memperkuat keterampilan investigasi dan pencarian bukti, membuka ruang dialog dan kolaboasi, menumbuhkan sikap ilmiah dan reflektif, dan sangat cocok untuk pembelajaran berbasis kasus (case based learning).
Dalam kaitan dengan pendidikan pancasila, logika abduksi membantu peserta didik untuk menghidupkan pancasila sebagai kerangka interpretasi, bukan doktrin. Logika abduksi melatih kreativitas berpikir dan critical thinking yang sangat dibutuhkan dalam era digital, mendorong keterampilan literasi digital dan etika – peserta belajar memilah mana penjelasan yang didukung bukti valid serta apakah selaras dengan nilai-nilai pancasila, membentuk sikap dialogis dan terbuka – abduksi tidak mencari ‘jawaban tunggal’ melainkan dugaan terbaik sementara, peserta terbiasa menerima berbagai tafsir lalu menimbangnya dengan nilai Pancasila, menyambungkan teori dan realitas kontekstual – misanya dengan mengamati fenomena polarisasi di medsos, mencari pola ujaran kebencian, mengajukan hipotesis dll. Logika abduksi juga membekali keterampilan pemecahan masalah sosial.
Dalam metode pembelajaran design thinking, ada lima langkah langkah yang perlu dilakukan. Pertama, tumbuhkan empati peserta didik. Langkah kedua merumuskan masalah secara spesifik. Langkah ketiga dan keempat adalah mengusulkan pemecahan masalah secara kreatif dan membuat prototipe. Langkah kelima melakukan uji coba atau evaluasi.
Manfaat dari metode ini adalah melatih empati dan pemahaman konteks, mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan inovatif, dan memadukan kreativitas dan logika, mengajarkan sikap adoptif dan toleransi terhadap kegagalan, mendorong kolaborasi lintas disiplin, membuat pembelajaran lebih kontekstual dan relevan, menumbuhkan rasa kepmilikan terhadap solusi.
Metode yang ketiga adalah berpikir komputasional. Ada lima komponen berpikir komputasional, yakni dekomposisi- memecah masalah kompleks. Dalam hal ini mahasiswa diminta menguraikan masalah menjadi bagian-bagian kecil. Kedua, pencarian pola – untuk menemukan pola atau kemiripan. Ketiga, abstraksi – menyaring inti masalah. Keempat, alogritma – merancang solusi sistematis. Kelima, evaluasi- menilai efektivitas solusi.
Metode keempat, lima langkah memecahkan masalah Dewey. Langkah pertama, identifikasi masalah – pada kesempatan ini mahasiswa diajak mengamati fenomena nyata. Langkah kedua, analisis masalah. Mahasiswa mengeksplorasi latarbelakang, koneks, dan faktor-faktor penyebab. Mereka perlu gunakan multi disipliner: politik, ekonomi, sosial dan media. Langkah ketiga, merumuskan hipotesis solusi.
Dalam hal ini mahasiswa menyusun beberapa solusi potensial. Langkah keempat pengujian hipotesis. Mahasiswa menganalisis konsekuensi dari masing-masing solusi. Langkah kelima, evaluasi dan implementasi solusi terbaik. Mahasiswa memilih solusi terbaik dan menyusun rencana implementasi.
Metode kelima, analisis wacana kritis- fairclough. Ada empat langkah analisis dan pemecahan masalah. Langkah pertama, identifikasi ketidakberesan sosial. Langkah kedua analisis hambatan penyebab ketidakberesan sosial. Langkah ketiga evaluasi tatanan sosial dan ideologi. Langkah keempat, merumuskan intervensi transformasional – berupa kemungkinan cara mengatasi masalah.
Pada setiap tahap pembahasan metode, Romo Haryatmoko memberi kesempatan kepada peserta untuk memberi tanggapan berupa pertanyaan atau bahkan sanggahan.
Satu jam menjelang berakhirnya workshop, peserta diminta untuk bergabung dalam kelompok-kelompok berdasarkan universitas lalu mereka memilih salah satu metode dan berlatih menggunakan metode itu. Lembar kerja sudah disiapkan Romo Haryatmoko dengan langkah-langkah yang memudahkan para dosen untuk menggunakannya.
Dua peserta dari dua universitas, yakni Universitas Katolik Darma Cendika dan Universitas Muhamadyah Surabaya berkesempatan memaparkan hasil diskusi mereka dan diberi catatan dari Romo Haryatmoko.
Di ujung kegiatan, peserta bersama-sama memekikkan salam Pancasila, tentu dengan cara pandang dan metode belajar yang baru. (Bill Halan/Red)


