Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat sudah mempengaruhi berbagai bidang kehidupan dan profesi. Pengaruh ini bisa berdampak positif dan negatif pada suatu lembaga atau institusi dalam negara. Adanya perubahan sistem pada instansi maupun lembaga pendidikan tidak terkecuali bagi perpustakaan yang memiliki fungsi sebagai penyedia informasi bagi seluruh civitas akademik. Perkembangan perpustakaan era kini mulai mengarah ke perpustakaan digital, tentunya membawa dampak yang sangat besar dalam hal pelayanannya. Kini pustakawan harus dapat melayani berbagai permintaan ‘baru’, misalnya agar pemustaka mendapatkan akses lebih cepat ke informasi yang dibutuhkan. Dewasa ini seiring dengan perkembangannya penting untuk diperhatikan bahwa perubahan teknologi digital akan terus menuju pada suatu konsep yang disebut sebagai era konvergensi.
Konvergensi yang dimaksud di sini adalah peningkatan digitalisasi, konten tipe yang berbeda (data, audio, suara, video) diletakkan dalam suatu format yang sama dan dikirim terus menerus (progresif) melalui berbagai variasi teknologi (komputer, handphone, televisi dsb) atau diteruskan pada platform yang berbeda. Sebab, di era konvergensi itu semua telah menjadi bagian aktivitas dan kebutuhan bagi setiap mahasiswa, serta dimulai dari pemanfaatan gadget (gawai berbentuk laptop, tablet, ipad dan smartphone). Tentunya untuk memenuhi harapan tersebut, seorang pustakawan harus bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi.
Perlu Komitmen dan Kesungguhan
Dihadapkan pada pokok bahasan di atas, maka akan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pustakawan dalam menyikapi fenomena tersebut. Melalui beberapa tahapan dan adaptasi diharapkan pustakawan dapat segera berbenah agar dapat memperkokoh eksistensi perpustakaan di era kini. Namun tidak meninggalkan esensi dari sebuah perpustakaan yang identik dengan buku sebagai menu yang tidak bisa terlepas, karena peran buku masih menjadi pilar utama terbukti dari buku teks masih digunakan sebagai literasi informasi bagi institusi pendidikan serta tetap digunakan sebagai perangkat pembelajaran.
Berkenaan dengan pentingnya faktor buku teks dalam pembelajaran yang di gunakan dalam pembelajaran timbul pertanyaan apakah buku teks yang tersedia di perpustakaan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pemustaka. Hal ini tentunya juga dilihat dari sisi buku yang tersedia di perpustakaan terutama di perguruan tinggi, apakah telah memenuhi standar pengadaan mutu yang baik dilihat dari tolok ukur kebutuhan ilmu pengetahuan maupun teori – teori yang relevan. Akan tetapi masih diperlukan pula strategi manajemen informasinya dan menjadi prioritas oleh pustakawan agar tercipta budaya literasi pemustaka. Maka dari itu diperlukan komitmen dan kesungguhan perpustakaan khususnya pustakawan sebagai pelaku dalam distribusi informasi serta dukungan dari institusi lembaga yang menaunginya.
Manajemen Informasi Sebagai Solusi
Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan gambaran dan saran bagi pustakawan, guru pustakawan, pengelola taman bacaan dan pemerhati perpustakaan agar lebih mempersiapkan diri menghadapi era konvergensi dengan terus berinovasi dalam membangun budaya literasi bagi pemustaka dengan mengetahui kompetensi apa saja yang harus dipunyai. Menurut Sulistyo Basuki (1991:89), teknologi informasi merupakan bagian dari manejemen informasi karena terbukti manajemen informasi telah lebih dahulu lahir daripada teknologi informasi sehingga teknologi informasi dianggap sebagai pendatang baru yang mampu menawarkan berbagai metode.
Dalam menyediakan, mengoordinasikan dan mengintegrasi layanannya, perpustakaan sangat bergantung pada pustakawan. Cara penyampaian informasi dengan komunikasi yang efektif kepada pemustaka menjadi wajib. Oleh karena itu strategi yang ditawarkan penulis adalah manajemen informasi dan komunikasi sehingga akan berdampak langsung pada budaya literasi di era kini khususnya perpustakaan perguruan tinggi lewat pendekatan integrated marketing communication (IMC).
Penulis memilih teori (IMC) karena promosi dan komunikasi perlu digabungkan menjadi sebuah kekuatan perpustakaan dikarenakan patut disadari bahwa kondisi pada masing – masing perpustakaan berbeda. Bertolak dari sinilah nantinya perpustakaan dapat menjadi barometer informasi, dengan tolok ukur dari jumlah pemustaka yang meningkat pesat dan eksistensi perpustakaan di perguruan tinggi semakin familiar. Berkaca dari keberhasilan perusahaan – perusahaan yang telah mengadopsi teori (IMC) antara lain seperti PT. NOKIA, PT. Semen Indonesia, PT. Astra Toyota, PT.WINGS, Pocari Sweet, dan masih banyak lagi untuk perusahaan dengan output produk, tidak ketinggalan yang memiliki output jasa seperti kantor pajak dengan menggalakkan wajib pajak dan lembaga anti rasuah KPK komisi pemberantasan korupsi dengan mengalakkan budaya anti korupsi.
Kini sudah saatnya Perpustakaan untuk menggalakkan budaya literasi di era konvergensi agar tetap memiliki eksistensi yang kokoh pada setiap perubahan zaman.
Integrated Marketing Communication (IMC) merupakan suatu proses dalam menganalisa, merancang, mengembangkan dan mengevaluasi pemustaka/pembaca melalui hubungan terintegrasi yang meliputi: advertising, sales promotion, personal selling, public relation, and direct marketing. Adanya proses penyampaian pesan yang digunakan untuk membina hubungan yang menguntungkan dengan pemustaka, dengan cara memadukan dan mengkoordinasikan semua elemen untuk menyampaikan pesannya secara jelas, konsisten dan berpengaruh kuat tentang citra perpustakaan dan layanan jasa yang dimiliki (promosi jasa layanan perpustakaan tersebut).
Memaksimalkan Pesan Positif dan Meminimalkan Pesan Negatif
Konsep dasar dari teori IMC adalah komunikasi. Berbasis komunikasi, Perpustakaan berusaha untuk memaksimalkan pesan positif dan meminimalisir pesan negatif dari suatu brand, dalam kaitan ini brand dilekatkan pada jasa layanan perpustakaan dengan sasaran menciptakan dan menyokong brand . Selain untuk membangun hubungan jangka panjang, juga digunakan untuk membangun dan memperkuat brand, di karenakan orang tahu akan brand bukan sekedar dari iklan semata melainkan dari (sense) pengalaman yang didapat, diharapkan “brand” layanan perpustakaan yang positif juga akan berpengaruh kuat pada budaya literasi pemustaka sehingga menghasilkan perubahan dan meningkatkan nilai dari perpustakaan tersebut. Peran pustakawan pada konsep ini sangat strategis karena menggunakan perpaduan komunikasi dua lini yaitu komunikasi lini atas berkaitan dengan era konvergensi (digitalisasi, internet dan media) dan komunikasi lini bawah tatap muka langsung antara pustakawan dan pemustaka.
Pertama, advertising adalah serangkaian program komunikasi above the line (komunikasi lini atas) untuk mempromosikan perpustakaan di media-media konvensional dan digital. Misalnya, pemasangan iklan layanan masyarakat baik di media digital, cetak, radio, billboard, banner, baliho, spanduk, website library (membaca buku digital secara online dan gratis).
Kedua, sales promotion adalah program-program komunikasi below the line (komunikasi lini bawah) untuk menambah nilai promosi strategis terhadap aktivasi yang sedang dijalankan. Misalnya, talkshow, bedah buku, resensi buku, jumpa penulis, dan lain-lain yang dikemas dengan format edutainment di berbagai acara dengan memanfaatkan public figure.
Ketiga, personal selling adalah program-program komunikasi below the line (komunikasi lini bawah) untuk membangun awareness and consumer insight. Misalnya, penetrasi budaya literasi Perpustakaan Keliling (mobile library) untuk menciptakan budaya baca , pembenahan perpustakaan lewat ketersediaan buku yang lengkap dari sisi kuantitas dan variasi tema bisa menjadi unique selling, fasilitas cepat wifi gratis di area perpustakaan, dan program buku gratis.
Keempat, public relation program-program komunikasi below the line (komunikasi lini bawah) yang melibatkan peran sentral dari seorang pustakawan yang lebih menitikberatkan pada komunikasi personal pada pelanggan/pembaca. Misalnya, program pemilihan duta baca, kegiatan lomba-lomba (resensi buku, bercerita, puisi, menulis esai, drama, dll.), program kerjasama dengan perpustakaan lain atau menjalin program sesama komunitas perpustakaan.
Kelima, direct marketing adalah above the line (komunikasi lini atas) dengan memanfaatkan eksistensi media sosial sebagai kekuatan channel komunikasi (facebook, twitter, instagram, youTube, dll) juga email, dan Handphone.
Berdasarkan paparan data dan solusi di atas, jelaslah bahwa pustakawan memegang peranan penting dalam menyajikan informasi yang diperlukan oleh pemakai perpustakaan mari bersama kita membangun budaya literasi di era konvergensi, Sukses!! (edited/red)
Oleh S Novi Pramono
Daftar bacaan
Sulistyo Basuki, Gramedia Pustaka Utama, 1991 Pengantar ilmu perpustakaan
Nugroho, Lukito Edi, Pemanfaatan Teknologi Informasi di Perguruan Tinggi, Cetakan Pertama, Prajnya Media, Yogyakarta, 2009
Buckland, Michael. 1999. “Library Services in Theory and Context”. 2nd Edition. Berkeley: Berkeley University.
Diakses melalui alamatsitus http://sunsite.berkeley.edu/Literature/Library/Services/index.html
*Penulis Pustakawan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya & Public Relations Office Supporting Team (PROST)