Indonesia merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini menjadikan Indonesia kaya akan beragam suku, budaya, adat istiadat, bahasa, maupun agama. Idealnya, keberagaman tersebut adalah aset yang patut untuk dipertahankan. Akan tetapi, faktanya keberagaman tersebut seringkali menimbulkan gesekan atau konflik-konflik horizontal antar kelompok yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang positif, ringan, dan mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, serta lintas suku, agama, ras dan golongan mutlak diperlukan. Maka dari itu, demi membuka lebar wawasan dan pola pikir positif masyarakat tentang kemajemukan negeri ini Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) bekerja sama dengan BBS TV menyelenggarakan ‘Indonesia Merayakan Perbedaan’ pada Minggu (8/4) di Auditorium Benedictus Kampus UKWMS Dinoyo.
‘Indonesia Merayakan Perbedaan’ (IMP) adalah sebuah program dialog kebangsaan yang dikemas secara ringan oleh BBS TV. Diawali dengan ramah tamah dan pemutaran video/cuplikan up-date peristiwa dan perspektif masyarakat terhadap tema yang diusung, kemudian dilanjutkan dengan diskusi serius tapi santai. Dialog kebangsaan ini dimaksudkan untuk mengkristalisasi kesamaan pandangan (shared values) para tokoh tokoh lintas agama/iman yang diharapkan dapat menjadi solusi positif bagi masalah-masalah kebangsaan.
Episode pertama dengan tema ‘Surga Milik Siapa’ menghadirkan narasumber sebanyak enam orang perwakilan agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Mereka adalah; K.H. Mohammad Nizam As Shofa (Islam), RD. Agustinus Prastisto (Katolik), Hs. Dr. Oesman Arief M.Pd (Kong Hu Cu), Naen Soeryono (Penghayat Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), Prof. DR. Ir. Nyoman Sutantra MSc (Hindu), Prof. Dr Philip K. Wijaya (Buddha) dan Dr. Agustinus Ryadi (Dekan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya) selaku pembicara tamu. Diskusi yang berlangsung selama dua jam tersebut dipandu langsung oleh Dr. R. Otto B Wahyudy, M.Si., MM.
“Surga berasal dari bahasa sansekerta suar (cahaya) dan ga (jalan) jadi bisa diartikan sebagai perjalanan menjadi cahaya. Lalu pertanyaannya, Surga ini milik siapa?” tanya Otto membuka sesi diskusi. Pertanyaan tersebut lantas ditanggapi dengan sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan, “Surga bukan milik siapa-siapa, karena surga adalah keadaan yang tidak memiliki subyek, sehingga itu adalah keadaan yang tanpa perbuatan. Kalau tidak ada subyek maka tidak ada obyek. Lalu apa yang ada di dalam surga? Suwung alias kosong atau hampa, ini pula yang ada di pertunjukan alam purwa. Di satu sisi, kosong bisa membuat kita cemas memang, tapi di dalam kekosongan itu pula sebenarnya kita justru bisa mengisi dengan sesuatu yang baik, ujar Dr. Agustinus Ryadi selaku Dekan Filsafat UKWMS.
Diskusi pun mengalir dan peserta yang hadir tergelitik untuk bertanya maupun menanggapi pernyataan tersebut. Vita, seorang penghayat kerohanian sabta darma menukas, “kalau surga itu dikatakan bukan milik siapa-siapa, bahwa surga itu suwung, lantas untuk apa selama ini kita berbuat baik?”
Gus Nizam pun menanggapi bahwa surga itu milik siapa saja yang merayakan perbedaan, milik siapa saja yang bisa mensyukuri hal-hal yang dulu disesalkan, milik siapa saja yang bisa mengubah masalah menjadi maslahah, mampu mengubah musibah menjadi muhibah. “Surga bukan milikmu, milikku, tapi milik kita. Surga itu sudah ada sebelum kita semua, dan yang bisa menjawab pertanyaan surga itu milik siapa hingga memuaskan hanyalah Tuhan,” tandasnya.
Romo Agustinus Pratisto Trinarso mendukung Gus Nizam dengan pendapatnya, “Surga, bukan saja milik orang Katolik, surga milik semua manusia yang selalu berbagi cinta kasih. Bagi Katolik, citra Allah itu untuk siapapun, siapapun layak hadir menempati surganya tanpa melihat darimana asal dan agama mereka”.
Dr. Oesman dari Konghucu turut menyampaikan, “kondisi ‘suwung’ di sini maksudnya adalah agar orang dalam melakukan sesuatu yang baik tanpa pamrih, tidak mengharapkan balasan apapun”.
Lebih lanjut, Prof. Philip berujar bahwa Surga adalah sebuah nuansa, sebuah makna ungkapan, sebuah kiasan, tidak seperti yang digambarkan oleh kita manusia, dengan benda-benda yang ada dan kita ketahui selama ini. Pendapatnya ini semakin diperkuat oleh Prof. Nyoman, “tidak ada materi yang dikejar di surga, jadi surga itu damai karena memang tidak ada materi yang perlu diperebutkan. Tidak ada pilpres, ataupun pilkada di surga. Kalau kita bisa hidup dengan menerima perbedaan dan semua menjadi saudara, itu juga merupakan surga”.
Menyimpulkan diskusi siang itu, Muhammad Subhan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPMU) UKWMS pun menyampaikan pendapatnya “Surga itu milik siapa saja yang berbuat baik dalam hidupnya dan mau menerima perbedaan”. (Red)
One Response
Menurut saya surga adalah situasi atau keadan yang diterima atau dialami manusia dalam menjalani hidup dan juga situasi setelah mati . Dalam hidup manusia bisa memposisikan dirinya dalam surga dan setelah mati diposisikan dalam surga oleh manusia yang masih hidup.