(UKWMS-4/10/2018)-Ancaman-ancaman terhadap negara berideologi Pancasila dapat datang dari berbagai elemen. Pada September 1965 lalu, ancaman berakar dari panasnya pertarungan dan politisasi ideologi partai politik penguasa dengan kekuatan militer saat itu. Hampir dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, dapat kita saksikan bahwa berbagai ancaman terhadap negara Pancasila, datang dari berbagai aksi radikalisasi agama. Peran-peran Gus Dur dalam membendung pengaruh-pengaruh radikalisasi agama ini merupakan upaya riil penyelamatan NKRI dan Pancasila. Di tengah makin menguatnya radikalisasi agama dari berbagai lini, terutama di media sosial berdampak pada munculnya ketakutan dan teror yang luar biasa yang dilakukan oleh kelompok garis keras terhadap kelompok minoritas.
Dalam rangka memperingati hari Kesaktian Pancasila, Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII) bersama Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) menggelar Diskusi Panel, dengan tema, “Mengenang Pemikiran Gus Dur: Menegakkan Visi Bernegara Pancasila dari Ancaman Radikalisme”. Diskusi ini menghadirkan Prof. Dr. AS Hikam, Menristek di Era Gus Dur, yang begitu dekat mengenal pribadi maupun pemikiran-pemikiran kebangsaan Gus Dur sebagai pembicara utama. Diskusi Panel ini bertujuan menggugah, merenungkan, dan memperkuat pemahaman dan pemikiran demokratisasi Pancasila, khususnya perjuangan-perjuangan penegakan Negara Pancasila yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh terdahulu seperti Gus Dur.
“Bagi saya, Gus Dur adalah orang yang multidimensi. Beliau bisa dilihat dari berbagai sisi. Kalau hendak mengenang pemikiran Gus Dur, kita harus tahu mau dilihat dari sisi yang mana,” kata Prof. Dr. AS Hikam saat membuka sesi seminar sebelum diskusi panel dimulai. Ia pun menambahkan bahwa Gus Dur memang giat mencari cara bagaimana membuat agama yang berbeda-beda bisa menemukan titik temu untuk membuat sebuah keharmonian.
Pemikiran Gus Dur sendiri dapat dirumuskan menjadi empat rumusan. Pertama, persatuan antar umat dan saling memberikan perlindungan terhadap umat lain, terutama kelompok minoritas. Kedua, menentang radikalisasi agama dengan berpartisipasi pada upaya-upaya pembangunan harmoni antar umat dan tidak memaklumi aksi dan perbuatan radikalisasi agama di masyarakat. Ketiga, menguatkan peran masyarakat melakukan deradikalisasi di masyarakat dengan menguatkan deteksi dini di masyarakat dan pendampingan bagi mantan pengikut kelompok radikal atau kombatan secara formal antara pemerintah dan masyarakat. Yang terakhir, Secara khusus meningkatkan kesadaran dan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak yang seringkali rentan dan berpotensi dieksploitasi–tetapi seringkali perempuan juga berfungsi sebagai penetralisir konflik, dengan bekerja sama dengan pihak terkait meningkatkan kesadaran anti terorisme.
Diskusi yang diadakan di A301 Kampus Dinoyo UKWMS tersebut dibagi menjadi dua sesi. Sesi yang pertama membahas bagaimana cita-cita Gus Dur dalam menjunjung Pancasila. Sesi yang kedua membahas bagaimana isu radikalisme dari segi media sosial, segi perempuan dan anak, serta segi agama yang diwakili oleh pesantren. Pembicara yang hadir pada sesi kedua meliputi Ketua Fatayat NU Jawa Timur Hikmah Bafaqih, Dosen IAIN Jember Dr. Fawaizul Umam, dan Dosen UKWMS Prof. Anita Lie, M.A. Ed.D.
Pemiikiran radikalisme di Indonesia identik dengan konteks etnis dan agama. Kelompok mayoritas merasa paling unggul yang akhirnya mewujud dalam sikap diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Sikap diskriminatif itulah yang membuat kelompok minoritas merasa tidak diberikan kesempatan untuk memberikan kontribusi membangun negara. “Kita harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai warga negara. Jika dibenci, ya sudah tidak apa-apa. Yang paling utama adalah kita sudah melakukannya,” terang Prof. Anita Lie.
Dr. Fawaizul Umam pun menjelaskan bahwa radikalisme dapat dicegah dengan dua cara. “Pertama adalah revitalisasi nilai-nilai yang dikembangkan Gus Dur seperti diskusi ini. Cara kedua adalah belajar nilai-nilai agama dari aspek kehidupan yang lain,” jelasnya.
Hikmah pun menambahkan bahwa mempelajari nilai-nilai agama juga dibutuhkan untuk saling memahami. Diskusi antar umat beragama pun juga harus sering dilakukan. “Berkumpul dengan agama lain itu perlu. Kegiatan seperti ini juga tidak perlu menunggu ada konflik ataupun pertikaian antar agama,” katanya.
Selain mempelajari nilai-nilai agama, aspek kehidupan lainnya seperti ilmu pengetahuan pun juga bisa dipelajari tanpa batasan tertentu. “Misalnya, jika anda ingin belajar bahasa Inggris dan di depan anda ada dua orang yang berbeda agama. Orang pertama merupakan seorang ustad yang sangat pintar dan mengusai ilmu agama, tetapi tidak bisa berbahasa Inggris. Sedangkan orang kedua adalah seorang guru besar bahasa Inggris yang beragama Katolik. Lalu anda akan meminta belajar pada siapa? Ketika saya bertanya kepada beberapa anak, mereka menjawab orang kedua. Nah, pemikiran inilah yang harus kita teruskan,” pungkasnya.(yov/Red)