Gagasan mendirikan Yayasan Pendidikan Tinggi Katolik telah dimulai sejak Perang Dunia I sekitar tahun 1914-1919. Pada saat itu, banyak lulusan HBS (Hogere Burger School/Sekolah Menengah Atas), tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi mereka ke Nederland, karena keadaan dan hambatan transportasi ke Eropa.
Karena itu pemerintahan Hindia Belanda saat itu bermaksud untuk memiliki Perguruan Tinggi sendiri di Hindia Belanda. Pada tahun 1920 didirikan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung, tahun 1924 Rechtskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) dan Geneeskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta dan tahun 1940 Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian) di Bogor.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu, hendak menyatukan sekolah-sekolah tinggi tersebut dalam suatu wadah yaitu Universiteit van Indonesie dan hendak mendirikan Fakulteit der letteren en Wijbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat). Dalam rangka menyatukan ini, pemerintah Hindia Belanda mengusulkan suatu jabatan guru besar (leerstoel) untuk mata kuliah Filsafat “sekuler” yang direncanakan wajib ditempuh oleh semua mahasiswa. Gagasan inilah yang merisaukan para Vikaris Apostolik di Hindia Belanda, karena khawatir mempengaruhi cara berpikir dan pandangan para mahasiswa Katolik. Oleh sebab itu, mereka mengusulkan suatu jabatan guru besar luar biasa untuk Filsafat Aristotelian-Thomisme, dan usul ini diterima. Sebagai tindak lanjut, para waligereja membentuk suatu lembaga bernama Stichting Sapientia, yang berkedudukan di Batavia pada 15 Juli 1941. Lembaga ini diketuai oleh Mgr. P. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, yang beranggotakan baik cendekiawan rohaniawan maupun cendekiawan awam. Stichting Sapientia bertujuan untuk memajukan pendidikan tinggi di Indonesia dengan dasar landasan Katolik.
Namun sebelum Stichting Sapientia melakukan persiapan mendirikan perguruan tinggi katolik dan berkiprah sebagaimana yang diharapkan, pada tahun 1942, Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang.
Kemudian tahun 1950-an dikenal sebagai “Era Kebangkitan Perguruan Tinggi Katolik”, karena pada tahun 1955; Mgr. Arntz OSC (Uskup Bandung) dan Mgr. Prof. Dr. N.J.C. Geise, OFM (Uskup Bogor), memutuskan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Parahyangan di Bandung. Dan pada tahun yang sama, Rm. G. Kester, SJ selaku Provincial Serikat Jesuit, mendirikan Pendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma di Yogyakarta.
Keberhasilan di Keuskupan Bandung dan Yogyakarta mendorong Mgr. J. Klooster, CM, Uskup Surabaya untuk juga mendirikan perguruan tinggi di keuskupannya. gagasan tersebut dibicarakan dengan Rm. Prof. Dr. Paul Janssen, CM dan Sr. Dra. Dionysia Michels, OSU, dari Madiun. Atas dukungan Romo Kepala Paroki Madiun, Rm. A.J. Dibjikarjono, Pr., pada tahun 1958, B-1 Ilmu Mendidik yang dikelola oleh Yayasan Yohanes Gabriel dan PGSLP Bahasa Indonesia yang dikelola oleh Suster-suster Ursulin dilebur menjadi Fakultas Ilmu Pendidikan yang merupakan cikal bakal Universitas Katolik Widya Mandala.
Saat bertugas ke Yogyakarta, Rm. Janssens melihat satu papan nama dari sebuah gedung pertemuan sebelah gereja di Kota Baru kata “Widya Mandala”. Menurut Rm. Loef, SJ artinya “tempat para sarjana”. Widya Mandala berasal dari bahasa Jawa kuno, Mandala artinya gedung atau tempat dalam arti tidak hanya fisik dan Widya artinya sarjana. Jadi Widya Mandala dapat diartikan sebagai tempat pendidikan untuk orang bijaksana dan sukses (sarjana). Nama Widya Mandala akhirnya dipakai Rm. Janssens untuk nama IKIP yang didirikannya.
Menurut versi lain, nama “Widya Mandala” (Widya: Ilmu Pengetahuan, Mandala: Tempat/Wadah) merupakan usulan dari Romo I. Dwidjosusastro, CM yang kemudian disetujui oleh Romo A.J. Dibjokarjono, Pr. dan didukung sepenuhnya oleh Mgr. J. Klooster, CM selaku Uskup Surabaya pada waktu itu.
Gagasan mendirikan perguruan tinggi katolik ini disambut dengan sangat baik oleh umat di Surabaya, sehingga pada tanggal 7 Juli 1958, Mgr. J. Klooster, CM mendirikan Yayasan Widya Mandala di Surabaya yang diresmikan dengan akta Notaris Anwar Mahajudin Nomor 42/1960 pada tanggal 11 Agustus 1960. Berdasarkan akte notaris tersebut, pengurus pertama adalah:
Ketua | : | Romo A.J. Dibjokarjono, Pr. |
Sekretaris | : | Romo A. Hadisoedarso, Pr. |
Bendahara | : | Bapak Inggar Mulyawardaja (Yap Tjong Ing) |
Penasehat Bidang Akademis | : | Prof. dr. J.A. Wibowo (Oei Hway Kiem) |
Pada awal pendirian Yayasan Widya Mandala sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Anggaran Dasar yang termuat dalam Akte Notaris No. 42/1960 memiliki azas dan tujuan: “….. Memelihara dan menguasai sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit,asrama-asrama dan lain-lain di Surabaya dan di tempat-tempat lain di Indonesia …..”.
Sesuai dengan perkembangan yang ada, maka Anggaran Dasar Yayasan Widya Mandala juga mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan terakhir pada Tahun 1994 dengan Akte Notaris Maria Martha Lomanto, SH Nomor 18 Tanggal 8 Juni 1994. Perubahan Anggaran Dasar tersebut, menyebabkan tujuan Yayasan Widya Mandala Surabaya juga mengalami perubahan sesuai yang tercantum dalam Pasal 4 Akte Notaris Maria Martha Lomanto, SH Nomor 18 Tanggal 8 Juni 1994, yaitu: “Yayasan Widya Mandala Surabaya bertujuan untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia dengan menyelenggarakan, memelihara, dan mengembangkan Perguruan Tinggi agar terbentuk manusia Indonesia yang bermoral dan berpendidikan serta berpengetahuan tinggi”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Yayasan Widya Mandala Surabaya menyelenggarakan:
students
MOST TRANSFORMATIVE COLLEGE
years of history
Dengan didasari manajemen pendidikan tinggi yang profesional untuk mencapai kesejahteraan karyawan dan mahasiswa dalam bidang jasmani dan rohani, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya mengutamakan nilai-nilai :
Peduli
Sikap yang menunjukkan perhatian yang besar terhadap sesama warga di lingkungan UKWMS dan para pemangku kepentingan, mengindahkan segala tata peraturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga, serta aktif ikut bagian dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan, baik internal maupun eksternal.
Komit
Kesediaan untuk berbuat sesuai dengan amanah, tuntutan lembaga ataupun kewajiban sebagai warga UKWMS. Ini sikap minimal maupun normatif. Diharapkan para warga UKWMS memiliki sikap komit yang afektif, yang sejauh mungkin “beyond the call of duty”
Antusias
Sikap amat bergairah, sangat berminat, dan bersemangat berapi-api dalam setiap tugas dan kegiatan yang diemban ataupun dilaksanakan; tidak ada rasa keterpaksaan, bahkan (serasa) selalu ingin melaksanakannya. Sikap yang menimbulkan gairah positif, dan meningkatkan kualitas hubungan dengan orang-orang lain, serta terbuka terhadap ide-ide ataupun peluang baru.
Terbentuknya komunitas akademik yang reflektif, kreatif, dan berdampak positif bagi peningkatan kehidupan sesama, serta dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip Katolik.
Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan ilmu yang terintegrasi dengan pengabdian kepada masyarakat dalam upaya menghasilkan lulusan yang profesional, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, dan terbuka secara moral terhadap perubahan dan pengembangan serta memiliki solidaritas dan rasa hormat yang tinggi untuk layanan dan dedikasi bagi mereka dalam masyarakat yang paling membutuhkan dukungan.
UKWMS adalah universitas yang menerima Akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi dan dikenal sebagai satu dari 50 Promising Indonesian Universities oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. UKWMS telah menerima penghargaan Anugerah Kampus Unggul berturut-turut sejak tahun 2010 hingga 2018. UKWMS juga menjadi satu-satunya universitas di Jawa Timur yang meraih anugerah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) Award di Tahun 2018.
WhatsApp us