TERORISKAH AKU?

Sebuah Refleksi Filosofis atas Terorisme di Indonesia”

Oleh: Fendi Hadi Saputro (Mahasiswa Fakultas Filsafat semester II)

 Pengantar

Masih melekat dalam memori kita akan kejadian di Sarinah, Thamrin, Jakarta beberapa waktu lalu. Sebagian besar warga Indonesia, khususnya DKI Jakarta dikejutkan dengan ledakan bom yang terjadi pada hari Kamis, 14 Januari 2016 itu.[1] Ledakan yang menjatuhkan beberapa korban itu langsung mendapat respon publik Indonesia lewat media sosial. Bahkan, setelah peristiwa itu terjadi, ada beberapa orang yang dengan sengaja mengunggah foto (selfie) dengan latar belakang lokasi kejadian. Bukan hanya itu, dalam media sosial juga ramai akan hastag (#)kaminaksir. Tulisan itu berangkat dari seorang polisi yang dianggap “keren” oleh beberapa orang karena aksinya dalam membekuk teroris. Hastag lain yang tidak kalah ramai adalah (#)kamitidaktakut. Seolah-olah mereka ingin memberitahukan kepada teroris bahwa mereka tidak takut akan teror mereka. Benarkah demikian?

Lewat media sosial, peristiwa semacam itu mudah sekali menyebar. Bahkan, orang yang tidak melihat kejadian itu secara langsung bisa mengetahuinya lewat media sosial. Ketika peristiwa itu sedang hangat di media, reaksi publik bermunculan lewat koran, majalah, acara televisi hingga media sosial seperti facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya. Reaksi itu bisa berupa komentar, kecaman kepada teroris hingga perasaan iba pada korban ledakan bom. Namun, komentar hanyalah sebatas komentar tanpa mengerti tindakan selanjutnya. Itulah realitas negara Indonesia, hanya mampu berkata tanpa mampu berbuat banyak. Hanya mampu peka pada media, bukan pada manusia.

Terorisme

Terorisme yang terjadi di Indonesia bukan hanya sekali ini saja. Tentu kita ingat akan peristiwa peledakan bom di bali yang menewaskan ratusan orang. Peristiwa itu sempat membuat Indonesia terluka, sedih dan trauma. Kejadian itulah yang terjadi di Indonesia sekarang. Terorisme menjadi sebuah ancaman serius di awal-awal tahun 2016. Semua orang takut, khawatir dan cemas jika terjadi ledakan bom di tempat yang lain. Apakah terorisme hanya sebatas ledakan bom? Tentu sebuah pertanyaan besar dan membingungkan untuk kita. Selama ini kita terjebak pada realitas bahwa terorisme adalah sebuah aksi peledakan bom dengan motif membunuh ataupun bunuh diri. Banyak motif yang dijelaskan pada banyak media. Namun, benarkah terorisme memiliki arti sesempit itu?

Terorisme adalah sebuah paham yang menjelaskan penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik) dan /atau praktik tindakan teror.[2] Dalam arti itu, terorisme bukan hanya sebuah ledakan bom semata yang kita ketahui selama ini. Akan tetapi sebuah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Usaha untuk menciptakan sebuah ketakutan entah dengan kata-kata ataupun dengan tindakan bisa dilakukan oleh siapapun juga. Bahkan orang yang adil dan bijaksana  pun bisa melakukan tindakan itu ketika ada kesempatan.[3]

Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Salah satu kehendak bebas manusia adalah memiliki kesempatan untuk memberikan ancaman, menciptakan ketakutan dan kekejaman pada orang lain. Di dalam pilihannya itu, manusia bebas untuk menentukan pilihannya.[4] Artinya bahwa manusia bebas untuk memilih ini atau itu, untuk bertindak maupun tidak. Kebebasan inilah yang mungkin disalahartikan oleh ‘teroris’ yang kita sebut sebagai peledak bom dan pembunuh manusia tak bersalah. Namun, bukankah terorisme juga terjadi pada mereka yang melecehkan, merendahkan dan mengancam orang lain lewat media sosial? Bukankankah artinya bahwa mereka juga memiliki kebebasan untuk melakukan kejahatan dengan media sosial. Jika benar demikian, berarti teroris bukan hanya mereka yang menggunakan bom sebagai alat, namun juga mereka atau bahkan kita yang memberikan ancaman untuk orang-orang disekitar kita lewat media sosial atau lewat alat yang lain.

Pasca ledakan bom di Sarinah beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan reaksi publik yang menyatakan tidak takut akan terorisme. Pernyataan itu bisa berupa komentar pedas, harapan, bahkan mengancam teroris yang ingin meledakkan bom di tempat yang lain. Artinya, orang-orang itu juga merupakan ‘teroris’ baru bagi orang lain karena mengancam dan menimbulkan ketakutan pada pihak lain. Publik disibukkan dengan membuat komentar yang mungkin tidak lebih penting dengan perbuatan konkret. Inilah realitas Indonesia yang masih ‘latah’ dengan peristiwa semacam ini. Artinya hanya mengikuti perbuatan orang lain tanpa tau akar permasalahan dan lebih lagi perbuatan yang harus dilakukan.

Bom di Sarinah beberapa waktu lalu meninggalkan sebuah kenangan di hati warga Indonesia. Kenangan yang dihasilkan akibat peristiwa itu pun sungguh beragam. Ada kesedihan karena kehilangan anggota keluarga yang menjadi korban, sampai pada kenangan berharga bisa mengambil foto di lokasi kejadian. Sungguh ironi ketika kita (manusia) hanya berdiam diri ataupun mengumbar kata-kata yang tidak akan pernah menghentikan aksi mengerikan ini. Terorisme menjadi ‘momok’ bagi warga Indonesia. Permasalahan ini seakan tidak memiliki jalan keluar untuk diselesaikan. Tidak jauh berbeda dengan media sosial. Media sosial yang menjadi salah satu sumber informasi masyarakat bukan menjadi penyalur aspirasi masyarakat, namun dijadikan ajang persaingan yang tidak memiliki arti.

Refleksi Filosofis

Tidak menutup kemungkinan, bahwa kita sebagai manusia pernah menjadi teroris untuk sesama kita. Hal yang paling terlihat adalah lewat media sosial. Di sana kita bisa melihat orang-orang saling melecehkan, menjatuhkan, mengolok bahkan mengumbar kebencian pada semua orang. Seolah-olah mereka tidak pernah memiliki kesalahan dan semau hati mengungkapkan hasrat itu. Teroris bukan hanya mereka yang menjadi pelaku peledakan bom. Akan tetapi orang yang menjatuhkan karakter sesamanya lewat media sosial, lewat pertemuan dan perkataan. Sikap seperti itu menjadi pemicu lahirnya teror-teror di negeri Indonesia ini. Apakah kita akan menjadi teroris baru?

Pertanyaan filosofis ini memang terlihat sederhana, namun perlu direnungkan. Hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang sia-sia, begitu kata Sokrates. Jelas bahwa ulah para teroris menyebabkan reaksi publik yang luar biasa. Reaksi publik inilah yang memicu sikap simpati terhadap orang lain.[5] Simpati yang diberikan adalah sikap perhatian, berusaha merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Akan tetapi, seperti yang telah dikatakan di awal tulisan ini bahwa orang-orang hanya berhenti pada tulisan tanpa mengerti perilaku selanjutnya. Tulisan-tulisan itu tidak akan hidup jika perilaku manusia terus diselubungi hasrat untuk berkuasa, menjatuhkan dan memiliki segala sesuatunya. Realitas yang terjadi di Indonesia tidak pernah selesai karena manusia tidak pernah selesai akan dirinya sendiri. Melihat kejelekan, keburukan orang lain jauh lebih mudah dilakukan daripada harus berbuat baik pada mereka yang seharusnya membutuhkan bantuan. Seharusnya menjadi sahabat untuk orang lain. Bukan malah menjadi ancaman untuk orang-orang di sekitar kita. Siapakah sebenarnya teroris itu, KITA atau mereka???

 

SUMBER BACAAN           

DONATUS, SERMADA KELEN, Filsafat Manusia, STFT Widya Sasana, Malang 2004.

SNIJDERS, ADELBERT, Antropologi Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 2004.

SUMBER LAIN

http:// Bom Sarinah, Ledakan di Thamrin Disusul Tembakan _ politik _ tempo.co.htm (di unduh pada 3 Maret 2016).

KBBI online

http:// Menggali ‘Warisan’ Plato dalam Buku III Teks “Republik” (386a – 417b) » Kerabatmedia.com – Media Kita-kita.htm

 

[1] Http:// Bom Sarinah, Ledakan di Thamrin Disusul Tembakan _ politik _ tempo.co.htm (di unduh pada 3 Maret 2016).

[2] KBBI online 1.5.1.

[3] Http:// Menggali ‘Warisan’ Plato dalam Buku III Teks “Republik” (386a – 417b) » Kerabatmedia.com – Media Kita-kita.htm (di unduh pada 3 Maret 2016).

[4] ADELBERT SNIJDERS, Antropologi Filsafat Manusia, kanisius, Yogyakarta 2004, 128.

[5] SERMADA KELEN DONATUS, Filsafat Manusia, STFT Widya Sasana, Malang 2004, 27.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

PPG UKWMS Kukuhkan 198 Guru Profesional Indonesia

(UKWMS – 27/04/2024) – Program Studi Pendidikan Profesi Guru Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (PPG FKIP) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), menyelenggarakan kegiatan Pengukuhan

Ilustrasi-Artikel-Hari-Bumi-Pentingnya-Jaga-Lingkungan-Hidup_Sumber-Picril.jpg

Pentingnya Jaga Lingkungan Hidup

(UKWMS – 22/04/2024) Hari Bumi adalah hari pengingat yang diperingati setiap tahun pada tanggal 22 April. Ini adalah hari untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat